Rumah Keturunan Tionghoa Jadi Tempat Menyusun Teks Proklamasi

Jumat, 14 Agustus 2020

Share
Share
Share

Diorama di Museum Perumusan Naskah Proklamasi memperlihatkan tiga serangkai Bung Karno, Bung Hatta dan Achmad Subardjo sedang menyusun teks proklamasi kemerdekaan RI. Sebelum dirumuskan, di rumah laksamana Maeda, tiga serangkai ini sempat diamankan dulu di Rengasdengklok.
(Foto: Hendra Wiradi/Uzone.id)

 

Generasi sekarang meskipun sudah banyak memegang ponsel pintar Android atau iOS untuk membantu aktivitas sehari-hari, mungkin sama sekali belum pernah mencari tahu rumah tempat Presiden RI pertama Soekarno menyusun teks proklamasi.

Kalau kamu mencari tahu melalui mbah Google, ketik frase ‘rumah proklamasi’ maka yang muncul adalah nama Djiaw Kie Siong, salah satu personel pasukan Pembela Tanah Air (Peta).

Kemudian, klik nama tersebut, kemudian internet akan membuka laman yang membahas rumah Djiaw Kie Siong, pria keturunan Tionghoa, kelahiran Pisangsambo, Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, sebagai pemilik rumah tempat menginap Soekarno, Muhammad Hatta saat ‘diculik’ oleh para pemuda termasuk Adam Malik, Chaerul Saleh dan Sukarni.

Rumah itu juga ditinggali Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 - 16 Agustus 1945.

Naskah Proklamasi dipampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Naskah inilah yang menjadi penanda kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Dibacakan pada 17 Agustus 1945.
(Foto: Hendra Wiradi/ Uzone.id)

Para pemuda itu menuntut para pemimpin Indonesia itu agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong itu.

Bendera Merah Putih pun sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.

Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Dia pun mengundang Bung Karno dan lainnya untuk berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Melansir BBC Indonesia, rumah Djiauw Kie Siong semula berada di pinggiran Sungai Citarum dipindahkan di lokasi yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat asli di Kampung Bojong, Rengasdengklok, pada 1957.

Djiauw Kim Moy, cucu dari Djiauw Kie Siong, menjelaskan bahwa bangunan rumah dan bagian ruang tamu masih asli. Begitu juga lantai ubin warna terakota yang biasa digunakan untuk rumah keturunan Tionghoa.

Selain itu, sisi bangunan yang dipertahankan aslinya adalah dua kamar yang sempat digunakan Soekarno dan Hatta. Ranjang tua dari kayu jati pun masih ada di kamar yang sempat digunakan Hatta untuk beristirahat.

Namun, kata Kim Moy, ranjang di kamar Soekarno sudah bukan asli karena yang asli sudah dibawa ke museum di Bandung.

Rumah Djiauw Kie Siong jadi tempat singgah para pemuda saat ‘menculik’ Soekarno dan Hatta karena dekat dengan markas Peta, yang saat ini sudah dijadikan Monumen Kebulatan Tekad.

Alasan lainnya para pemuda membawa para pemimpin Indonesia ke Rengasdengklok karena jaraknya sekitar 81 km dari Jakarta bisa menghindari pengawasan tentara Jepang.

Rengasdengklok juga berjarak sekitar 15 km dari jalan utama, yang termasuk bagian dari jalur pantura. Bahkan saat ini pun perjalanan ke rumah Djiauw Kie Siong pun masih terasa jauh dan agak terpencil, BBC Indonesia melaporkan.

Sesampainya di Jakarta, Sukarno dan Hatta yang masih didampingi tokoh pemuda Sukarni menuju beberapa tempat dan akhirnya sampai di rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol, yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Teks proklamasi yang dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari itu kemudian dibacakan oleh Sukarno, didampingi Bung Hatta di Jakarta.

Memang tak banyak yang tahu soal sosok Djiauw Kie Siong. Dia merupakan seorang petani kecil keturunan Tionghoa.

Dia merelakan rumahnya ditinggali para tokoh pergerakan Indonesia. Sampai sekarang, rumah bersejarah tersebut masih dihuni oleh keturunannya.

Djiaw pun pernah berwasiat, bagi keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggu rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.

Djiaw diketahui meninggal dunia pada tahun 1964. Namanya seperti terhapus oleh catatan sejarah. Namun, Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw dalam bentuk selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.

Berita Lainnya

Peristiwa Penting Sebelum Proklamasi Indonesia

Beberapa Peristiwa Penting pun terjadi sebelum Hari Proklamasi tiba.

Sejarah Gapura untuk 17 Agustusan

Dalam merayakan 17 Agustus, rakyat Indonesia punya beragam kesenian, baik itu panggung musik macam perlombaan mulai tarik tambang, balap kerupuk hingga panjat pinang

Sekolah Kedokteran Khusus Pribumi Jadi Museum Kebangkitan Nasional

Museum Kebangkinan Nasional di Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh Nomor 26, Senen, Jakarta Pusat, sempat ditutup demi mencegah penyebaran virus corona baru (Covid-19)

Fakta Sejarah Bendera Merah Putih Pertama RI

Sejarah bendera Indonesia menarik untuk didalami, apalagi nama bendera kita punya beberapa julukan seperti Merah Putih, Sang Dwi Warna, dan Sang Saka Merah Putih

Kisah Dibalik Panjat Pinang, Permainan yang Ramai Saat Hari Kemerdekaan

Bulan Agustus ini, pedagang pohon pinang akan menuai banyak untung. Panjang pinang menjadi salah satu permainan di hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus

Tangis Air Mata Fatmawati Saat Jahit Merah Putih

Fatmawati tidak sengaja mendengar teriakan bahwa bendera Indonesia belum ada saat Soekarno bersama tokoh lainnya sedang berkumpul menyiapkan peralatan untuk pembacaan naskah teks proklamasi

Video Lomba